1.1. Latar
Belakang
Problematika mendasar dalam mengkaji sebuah teks
adalah problema penapsiran, baik teks historis maupun teks keagamaan—terutama
Kitab Suci. Yang terpenting dari semua itu adalah bagaimana agar problema
tersebut tidak mengacaukan relasi antara penafsir dengan teks. Relasi antara
penafsir dan teks ini adalah masalah serius dan merupakan pijakan awal bagi
para filosof hermeneutic. Hal ini adalah aspek yang paling banyak dilupakakan
dalam berbagai studi sastra, sejak era Plato hingga jaman modern. (Nasr Hamid
Abu Zayd; 2003; hal. 33)
Sebeleum kita melangkah lebih jauh pertama-tama kita
harus memamhami terlebih dahulu apa itu hermeneutic. Jika kita mendengar kata
hermeneutic, maka pikiran kita akan diarahkan pada nama dewa dalam mitologi
Yunani, yaitu dewa Hermes. Hermes bertugas menyampaikan pesan dari pada dewa
kepada manusia, sehingga dapat dikatakan, ia tidak hanya mengumumkan kata demi
kata, melainkan juga bertindak sebagai penterjemah yang membuat kata-kata para
dewa dapat dimengerti dan bermakna bagi manusia. Kita juga sering menyebutnya
sebagai tafsiran. Hermeneutic secara konsekuen terikat pada dua tugas yaitu
memastikan isi dan makna sebuah kata, kalimat, teks dan lain sebagainya, serta
menemukan intruksi-intruksi yang terdapat di dalam bentuk-bentuk simbolis.
(Josef Bleicher; 2003; hal. 5)
Hermeneutik berarti interprestasi. Kadang
hermeneutic berkaitan dengan teori mengenai interprestasi sebuah teks dengan
benar. “Hermeneutic” dan “interprestasi” berasal dari akar kata Yunani yang
sama. Interprestasi lebih umum digunakan dari pada hermeneutic, kita
menggunakan interprestasi dalam berbagai bidang study, seperti interprestasi
dalam sebuah novel, puisi, permainan dan film. Dan kita juga menggnakan
interprestasi untuk memahami sebuah kitab suci. (Lawrence K. Schmidt; hal. 1)
Hermeneutik adalah istilah yang telah ada sejak
dahulu dan pertama kali digunakan oleh
berbagai kelompok study teologis untuk menyebut sejumlah kaidah dan
aturan-aturan standar yang harus diikuti oleh seorang penafsir untuk dapat
memahami teks keagamaan (Kitab Suci). Dalam hal ini hermeneutic menjadi berbeda
dengan tafsir [Inggris: exegesis].
Jika exegesis adalah tafsir itu sendiri dengan berbagai
rinciannya yang praktis, maka hermeneutic lebih cenderung pada teori
penafsirannya. Pengertian hermeneutic seperti ini muncul sejak tahun 1654 M,
dan terus berlaku hingga sekarang, terutama dikalangan Protestanisme. (Nasr
Hamid Abu Zayd; hal. 33-34) Beberapa buku dalam bahasa Inggris mengenai
hermeneutic lebih pada konteks teologi . Martin Heidegger, yang baru-baru ini
menerbitkan kumpulan essay, mendiskusikan mengenai karakteristik hermeneutic
menurut pemikiriannnya, baik dulu maupun sekarang.
1.1. Pembatasan Masalah
Pada makalah ini
pembahasan akan di batasi hanya pada “Pemikiran Hermeneutic Heidegger”
1.1. Perumusan Masalah
Dari
pembatasan masalah di atas, maka masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa
latar belakang pemikirian dari Martin Heidegger?
2. Bagaimana
Pemikiran Hermeneutic Martin Heidegger?
3. Apa
tujuan dari hermeneutic Martin Heideger?
2.1. Riwayat Hidup
Akhir
abda ke delapan belas adalah masa dimana masyarakat industry modern berkembang
dan desa-desa ditinggalkan oleh para penduduknya untuk hidup di kota. Pada
kondisi soial masyarakat sperti itu Martin Heidegger lahir. Martin Heidegger
lahir di Messkirsch, Jerman, tepatnya pada tanggal 26 september 1889. Heidegger
dilahirkan di sebuah keluarga pendeta dan diharapkan dia kelak akan menjadi
seorang pendeta juga. Masyarakat tempat Heidegger lahir adalah masyarakat yang
konserpatif, hidup mereka didasarkan pada ekonomi pertanian yang mengutamakan
hirarki, pemilik tanah, buruh dan para pemuka agama.
Keluaraga
Heidegger tidak cukup kaya untuk mengirimnya ke universitas dan ia membutuhkan
beasiswa. Untuk maksud tersebut ia harus belajar agama. Semasa sekolah menengah
atas ia bersekolah di Freiburg Jesuit Seminary. Pada tahun 1909 ia mendapat
beasiswa dari gereja sehingga dapat melanjutkan ke Freiburg University.
Meskipun Freibuarg adalah sebuah propinsi yang kecil
dan agrari, namun merupakan penghubung ke dunia lain, yaitu modernitas: kota
metropolitan, trasnportasi yang maju dan komunikasi (telepon dan lain
sebagainya), industrialisasi dan mekaniksasi (system buruh yang baru dan bentuk
baru socsial masyarakat).
Heidegger
pertama kali mempelajari mengenai teologi. Namun di tahun 191, dia keluar dan
sekolah kependetaan dan mengambil studi matematika, dan kemudia filsafat—sejarah
dan khususnya epistomologi, metafisika, logika, etika dan yang lainnya. Dengan
mengambil studi di bidang filsafat, Heidegger tertari dengan pertanyaan
mengenai apa itu “ada”?
Tahun
1916 Husserl tiba di Freiburg sebagai professor filsafat. Kemudian dari
tahun1919 sampai 1923 Heidegger menjadi assisten Husserl. Husserl merupakan
pendiri dari aliran filsafat penomenologi modern.
Di
tahun tersebut juga Heidegger menikahi istrinya yaitu Elfrida Fetri.
Pernikahannya dengan Elfrida Fetri sedikit banyak mempengaruhi pemikiran
Heidegger. Dimana setelah menikahi istrinya, yaitu sekitar tahun 1918 Heidegger
mengalami krisi keimanan. Istrinya adalah seorang pengikut Luther dan sedangkan
Heidegger adalah seorang katolik.
Keterlibatan
Heidegger dengan partai Nazi Jerman dianggap bahwa tulisan-tulisan Heidegger
mendukung kekejaman Hitler. Sampai akhir hayatnya Heidegger tidak pernah jelas
keterlebitan Heidegger denga partai Nazi Jerman. (Jeff Collins & Howard
Selina; 2001)
2.2. Latar Belakang Pemikiran
Heidegger mulanya adalah seorang
pengikut fenomenologi. Kaum fenomenologi menghampiri filsafat dengan berusaha
memahami pengalaman tanpa diperantarai oleh pengetahuan sebelumnya dan
asumsi-asumsi teoritis abstrak. Edmund Husserl adalah pendiri dan tokoh utama
aliran ini.sementara Heidegger adalah mahasiswa dan sekaligus asistennya. Hal
ini lah yang mempengaruhi pemikiran Heidegger. (Rifqi K. Anam) Heidegger menjadi tertarik
mengenai pertanyaan “Ada”. Karyanya yang terkenal Being and Time dicirikan sebagai sebuah karya fenomenologis.
Gagasan tentang ada berasal dari Parmenindes dan secara tradisional merupakan
salah satu pemikiran utama filsafat Barat. Persoalan tentang keberadaan
dihidupkan kembali oleh Heidegger
setelah memudar karena pengaruh tradisi metafisika Plato. Heidegger juga
mengkritik Descrates “aku berpikir, maka aku ada”. Menurut Heidegger baigaman
seseorang bisa berpikir, apabila dia tidak ada?. Maka, kalimat yang tepat bagi
Heidegger adalah “Aku ada, maka aku berpikir”.
Heidegger mengarah pada metakritik atas
kritik-kritik Kant, Heidegger menganggapnya sebagai sebuah tugas penyelidikan
yang lebih bersifat ontologism dibandingkan logis. Konsep fundamental ontologis
Heidegger menyediakan sebiah re-orientasi yang utuh dan sebuah solusi yang jauh
lebih radikal dengan mengembangkan sejumlah
Existtentialien (eksistensiale-eksistensiale)
yang, dalam hubungannya dengan “kategori-kategori khas ada bagi entitas-entitas yang karakternya bukan Dasein”, “menjadi dua kemungkinan dari
karakter-karakter Ada” (Josef
Bleicher; hal. 141)
2.3. Pemikiran Hermenutika
Hakikat eksistensi – menurut
Heidegger—melampaui dan berada di atas kesadaran subjektifitas. Karena
kesadaran ini bersifat historis dan sekalipun mulai mempersepsikan
subjektivisme bagi eksistensi, maka ia merupakan pemahaman yang tidak henti.
Terdapat indikasi – dihubungkan dengan hermenutik—bahwa Heidegger menganggap
hermenutik sebagai fenomena (hermeneutic
of Facticity) dengan segala dimensinya yang asli. Ia menganggap bahwa
tugasnya dalam buku Being and Time
adalah menjelaskan hermenutik eksistensi. Tetapi Heidegger membatasi filsafat
fenomenologinya dan ia kembali pada sumber Yunani untk istilah fenomenologi dan
memandangnya disusun oleh dua unsure, phenomenon
dan logos. Bagian pertama
menunjuk pada “sekumpulan yang nampak karena cahaya siang” atau “objek yang
terlihat karena ada cahaya”. Kejelasan atau penampakan bagi objekini tidak
mesti berinteraksi dengannya atas dasar bahwa ia menjadi unsure kedua yang
menunjukan pada objek yang lain dibelakangnya. Ia bukanlah penampakan dari
berbagai indikasi objek, tetapi nampaknya objek sebagaimana adanya. Dengan kata
lain, eksistensi objek itu bukanlah unsure kedua—atau manifestasinya dalam
persepsi—melainkan objek itu sendiri, tetapi ia merupakan hakikat aslinya.
(Nasr Hamid Abu Zayd; hal. 57)
Berangkat dari hal di atas, dalam Ontology— Hermeneutics of Facticity. Heidegger
merumuskan proyek penyelidikan fenomenologis yang ia sebut sebagai “hermeneutic of facticity”. Heidegger
mengunakan istlah ontology bagi proyeknya. Ontology dalam pemikirian Heidegger tidak dimaksud untuk mempelajari Ada dalam
arti metafisika tradisonal. Heidegger ingin kembali pada Ada yang paling asli
ketika Ada belum disalahpahami. Ada Heidegger bertolak dari “ada” partikuler
yang menanyakan Ada. Ada partikuler tersebut dinama Dasein. Jadi ontology disini dimaksudkan sebagai kajian yang
bertolak dari Dasein.
Daseinyang
secara harfiah berarti “ada-di-sana” memiliki makna “a being-in-the-world, capable of being with itself (at-home-in), as
well as with others (there involved in), for a period of temporal spatial
duration.” (Richard E. Palmer; hal. 128) kehadiran Dasein tidak bersifat statis dan konstan tetapi bersifat dinamis. Dasein memiliki sebuah kehidupan yang
disebut Heideger sebagai faktis (factical).
Bagi Heidegger, Dasein sebagai “ada” yang
faktis berarti ke-di-sana-an Dasein
berada dalam temporalitas waktu tertentu. Jadi ontology yang dimaksud Heidegger
disini adalah sebuah penyelidikan mengenai kehidupan faktis Dasein sebagai “ada”particular dalam
temporalitasnya. Penyelidikan ini ia sebut sebagai hermeneutic faksitas. Dalam
hal ini, Heidegger melakukan pengubahan secara mendasar tidak hanya pada
disiplin ontology tetapi juga bidang hermeneutic denga mengganti objek
penyelidikan yang semula bersifat konstan dan statis dengan sesuatu yang
bergerak dalam temporalitas.
Contoh fenomena ini adalah hermeneutic .
bidang hermeneutic dengan menguraikan perjalanan sejarah dimana hermeneutic
didefinisikan dan didefinisikan ulang sejak masa klasikgga sekarang . artinya
hermeneutic bahwa pemahaman tidak didasarkan pada berbagai kategori dan
kesadaran kemanusiaan. Tetapi muncul dari manifestasi-manifestasi objek yang
kita hadapi yang berupa kebenaran yang kita persepsikan—pahami. Manusia,dalam
eksistensinya dan atas dasar jangkauan eksistensinya ini menemukan pemahaman
terbatas terhadap hakikat eksistensi yang sempurna. Pemahaman ini bukanlah pemahaman yang stabil,
tetapi pemahaman yang terbentuk secara historis dan berkembang dalam menghadapi
berbagai fenomena. Eksistensi manusia menurut pemahaman ini merupakan praktek
berkesinambungan dalam memahami berbagai fenomena dan eksistensi tersebut
sekaligus.
Dengan demikian fenomenologi menjadi
hermeneutic. Dan hermeneutic-- praktek pemahaman –menjadi eksistensi. Pemahaman
adalah kemampuan untuk mempersepsikan berbagai kemungkinan eksistensi bagi
individu dalam konteks kehidupannya dan eksistensinya di dunia. Pemahaman
bukanlah potensi atau bakat untuk merasakan pemahaman pribadi lain, sebagaimana
pemahaman bukanlah kemampuan untuk mencerna makna berbagai ekspresi hidup yang
dalam. Pemahaman bukanlah sesuatu yang dapat dihasilkan atau dimiliki, namun
merupakan salah satu bentuk eksistensi di dunia ini, atau satu elemen yang
mendasari dunia ini. Karean inilah--dari segi eksistensi—pemahaman adalah dasar
dan yang mendahului segala aktifitas eksistensialis (menjadi atau being). Fenomena alam dan
ketersingkapannya hanya terjadi dalam bahasa (pembicaraan).
Secara alami teks tiadaklah dianggap
sebagai ekpresi dari “kebenaran internal” sebagaimana syair tidak mengungkapkan
sisi-sisi internal kepada kita. Tetapi lebih tepat dianggap sebagai pengalaman
eksistensial. Teks merupakan keterlibatan dalam kehidupan “sebagaimana
pengalaman ekistensi” yang melampaui subjektivitas dan objektivitas.
Dalam pemahaman dan interprestasi
terhadap teks , kita tidak berawal dari kekosongan, tetapi kita mulai—sebagaimana
pemahaman eksistensi—dari pengetahuan awal tentang teks dan jenis-jenisnya.
Bahkan mereka yang tidak memiliki konsep adanya eksistensi seperti pengetahuan
ini atau menyangkalnya, juga mereka mulai dengan gambaran bnahwa teks ini
misalnya merupakan lirik. Disisi lain, kita tidak menemukan teks diluar bingkai
ruang dan waktu, tetapi kita menemuinya dalam situasi yang terbatas. Kita tidak
menemui teks dengan keterbukaan yang statis, tetapi kita menemuinya dengan
saling mempertanyakan. Pertanyaan seperti ini merupakan dasar eksistensi dalam
memahami teks, kemudian menginterprestasikannya secara sempurna sebagaimana
persepsi kita terhadap eksistensi yang sempurna dengan eksistensi subjektif
kita, maka eksistensi subjektif itu juga yang menjadi dasar pemahaman kita
terhadap ekistensi alam semesta.
1.1. Kesimpulan
Heidegger
ingin mengungkapkan bahwa ada bentuk pemahaman yang lebih primordial dari
pemahaman intelektual, yaitu sebuah pemahaman yang dibentuk oleh situasi dan
kondisi yang melatarbelakanginya. Pengalaman tersebut lebih bersifat praktis
ketimbang epistomoligis bentuk pemahamn ini dapat digunakan dalam penyelidikan
kehidupan sehari-hari. Relasi manusia dengan dunia pertama-tama bukanlah relasi
pemahaman intelektual. Dalam duania keseharian, memahami palu bukanlah
mengetahui apa eseensi dari palu (know
what) tetapi tahu bagaimana menggunakan pal (know how. Sebuah meja keluarga berada disebuah ruangan tidak
benar-benar diperhatikan oleh keluarga yang memilikinya selain sebagai tempat
untuk meletakan sesuatu. Baru setelah palu mengenai tangan kita, saat kita
gunakan , kita benar-banar sadar akan kehadiran palu. Juga baru setelah sebuah meja
tidak bisa digunakan entah karena rusak atau kotor, si pemilik memperhatikan
meja tersebut. Hal tersebut menunjukan adanya sebuah pra-struktur (fore-structure) dalam diri manusia yang
berasal dari situasi eksistensial patikular yang membentuk pemahaman manusia
dan menjadi kerangka dan parameter dalam setiap penafsir.
Heidegger tidak memaksudkan bahwa dengan adanya
pra-pemahaman yang menentukan setiap penafsiran kita, maka kita akan terkurung
oleh prasangka kita sendiri. Hermeneutika Heidegger justru menunjukan
sebaliknya. Tujuannya adalah untuk memberikan penjelasan atau mengekplisitkan
adanya struktur pra-pemahaman yang terberi dalam sejarah. Heidegger denga kata
lain ingin menyingkapkan apa yang implicit dalam setiap penafsiran kita. Usaha
inilah yang disebut sebagai hermeneutika.
1.2. Kritik dan Saran
Heidegger
menempatkan hermeneutika sebagai destruksi metafisika tradisional yang
melupakan Ada yang menyembunyikan diri. Dan dengan demikian proyek fenomenologi
Heidegger, yang ia beri nama hermeneutika faktisitas menjadi sebuah ontology
karena memberikan Ada mewahyukan dirinya dalam dimensi tampak dan tak
tampaknya. Tapi hal ini membuat hermeneutika Heideger tidak memiliki struktur
metedologi yang jelas dan tersusun dengan rapi. Sehingga hermeneutikanya sulit
digunakan dalam penulisan tafsir.
DAFTAR
PUSTAKA
Bleicher,
Josef. Hermeneutikan Kontemporer.
Yogyakarta: Pajar Pustaka Baru, 2013.
Farid
Esack. Membebaskan yang Tertindas.
Bandung: Mizan Meedia Utama, 2000
Hamid
Abu Zayd, Nasr. Al-Quran, Hermeneutik dan
Kekuasaan. Bandung: RQiS, 2003
Jeff
Collins & Howard Selina. IIntroduction
Heidegger. Canada: Pengeuin Books, 2001
Richard
E. Palmer. Hermeneutic. Evanstone:
Northwestern University Press, 1969.