Kamis, 17 Oktober 2013

KESELAMATAN DALAM ISLAM DAN TOLERANSI

ABSTRAK
“Trilogi Pembaharuan” yang diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), yaitu sekulerisme, liberalism dan sekulerisme sebenarnya dapat dilihat sebagai pradigma. Sebagai contoh, sekulerisme lahir dari otoritarianiseme agama yang bersekutu dengan kekuasaan sehingga memasung kebebasan beragama. Liberalism lahir dari kondisi “tertutupnya piintu ijtihad” yang membelenggu cara berpikir, dan pluralism lahir dari kondisi masyarakat yang majemuk yang mengandung potensi konflik.”[1]
Pendahuluan
Kaum pluralis berkeyakinan bahwa semua pemeluk agama mempunyaai peluang yang sama untuk memperoleh keselamatan dan masuk surga. Semua agama benar berdasarkan kriteria masing-masing. Seperti pernyataan Al bana yang dikutip Jalaludin Rakhmat:
“keberanian yang luar biasa dalam merampas wewenang Allah! Apakah mereka yang memegang kunci-kunci neraka? Apakah mereka yang menenggelamkan manusia ke dalam neraka? Atas dasar apa mereka mengambil kesimpulan ini? Bagaimana kesadaran mereka atas rahmat Allah yang tidak terbatas yang akan membalas satu kebaikan dengan tujuh ratus kebaikan?.... Dia tidak akan menenggelamkan manusia ke dalam neraka kecuali manusia pembangkang yang berbuat kerusakan dan kezaliman di muka bumi.”[2]
Jalaludin Rakhmat berpendapat bahwa kasih sayang Tuhan itu luas, lebih luas dari kasih sayang ibu kepada anaknya. Pernyataan ini didasarkan pada ayat al-Quran surat al-Baqarah ayat 62, yang diulang dengan surat al-Maidah ayat 69 dan surat al-Hajj ayat 17 walaupun dengan redaksi yang berbeda.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabi’in, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, gari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran di antara mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”
Ayat-ayat ini sangat jelas mendukung pluralisme. Dalam ayat ini tidak dikatakan semua agama adalah sama atau semua agama adalah benar. Namun, dalam ayat ini dijelaskan bahwa semua penganut agama akan memperoleh keselamatan selama mereka percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan percaya kepada hari kiamat serta berbuat baik antar sesama.
Sebagian musafir yang ekslusif mengakui makna ayat-ayat tersebut sebagaimana di atas. Namun, mereka menganggap ayat-ayat teresebut telah dihapus oleh surat Ali Imran ayat 85 yang artinya:“barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang merugi”.
Namun menurut Sayyid Husseyn Fadhullah, makna ayat ini tidaklah bertentangan dengan makna ayat yang telah kita bicarakan.[3]  Dalam surat Ali Imran ayat 85 konteks Islam di sini bukanlah mengacu pada Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, tapi Islam dalam arti umum, yang meliputi semua risalah langit. Menurut al-Quran semua agama adalah Islam. Ini diperkuat dengan ayat-ayat yang lain: Ingatlah ketika Tuhannya berkata kepadanya (Ibrahim); Islamlah kamu. Ibrahim berkata: Aku Islam kepada Tuhan Semesta Alam. Dan ketika Ibrahim dan Ya’qub berwasiat dengannya kepada anak-anaknya: wahai anak-anaku, sesungguhnya Allah telah memilih bagi kamu agama, maka janganlah kamu mati kecuali kamu menjadi orang-orang Islam (Q.S. al-Baqarah: 131-132).
 Peluang dan kesempatan yang sama untuk memperoleh surga bagi semua pemeluk agama merupakan hal yang mungkin menurut penulis bila didasarkan pada argumen-argumen di atas. Namun argumen di atas masih belum cukup untuk menguatkan pernyataan tersebut.

Kebenaran Universal
Salah satu kesadaran umat Muslim adalah bahwa agama Islam adalah agama yang universal, bagi seluruh umat manusia. Landasan prinsip ini adalah Kitab Suci bahwa kebenaran universal dengan sendirinya adalah tunggal, meskipun ada kemungkinan manifestasi lahiriahnya beraneka ragam.[4] Ini juga menghasilkan pandangan antorpologis bahwa pada mulanya umat manusia adalah tunggal, namun ketika kebenaran itu datang, maka mereka berselisih mengenai kebenaran itu sesuai tingkatan pemahaman masing-masing. Kesatuan asal umat manusia ini digambarkan dalam firman Tuhan:
“Semula manusia adalah umat yang tunggal, kemudian Allah mengutus para nabi yang membawa kabar gembira dan member peringatan, dan Dia menurunkan bersama para nabi itu kitab suci untuk menjadi pedoman bagi manusia berkenaan dengan hal-hal yang mereka perselisihkan; dan tidaklah berselisih tentang hal itu kecuali mereka yang telah menerima kitab suci itu seudah dating kepada mereka berbagai keterangan, karena persaingan antara mereka. Kemudian Allah member petunjuk kepada orang-orang yang beriman dengan izin-Nya, berkenaan dengan kebenaran yang mereka perselisihkan itu. Allah member petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya kea rah jalan yang lurus”. (Q.S. al-Baqarah: 213)
Inti dari kebenaran universal adalah paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau Tawhid. Konsekuensi terpenting Tawhid adalah sikap pasrah sepenuhnya hanya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, tanpa kemungkinan member peluang kepada yang selain-Nya. Inilah al-Islam, inti sari semua agama yang benar, menurut Ibn Tamiyah yang dikutip oleh Nurcholis Majid:
“Perkataan (Arab) “al-Islam” mengandung pengertian perkataan “al-istislam” (sikap berserah diri) dan “al-inqiyad” (tunduk patuh), serta mengandung pula perkataan “al-ikhlas”  (tulus)…Maka tidak boleh tidak dalam Islam harus ada sikap berserah diri kepada Allah Yang Maha Esa, dan meninggalkan sikap berserah diri kepada yang lain. Inilah hakikat ucapan kita “La ilaha illa Allah”. Maka jika seorang berserah diri kepada Allah dan (sekaligus juga) kepada selain Allah, dia adalah musyrik.”[5]
Karena prinsip ajaran nabi dan rasul sama, maka para pengikut semua nabi dan rasul adalah umat yang tunggal. Dengan kata lain, konsep kesatuan ajaran membawa kepada konsep kesatuan kenabian dan kerasulan, yang kemudian, dalam urutannya sendiri, membawa kepada konsep kesatuan umat beriman. Dan pada akhirnya kesatuan keselamatan.
Jika semua agama adalah benar, maka kenapa Tuhan menciptakan keragaman agama, kenapa Allah tidak menciptakan satu agama saja? Al-Quran menjawab pertanyaan ini dalam surat al-Maidah ayat 48:
“untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberiannya kepada kamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya. Lalu diberitahukannya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”
Dari ayat di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa setiap agama memiliki aturan (syariat) dan jalan hidupnya (aqidah) sendiri-sendiri. Ini dimaksudkan bahwa setiap agama itu berbeda dan tidak sama antara satu dengan yang lainya. Kedua, perbedaan tersebut adalah niscaya, dan merupakan ujjian bagi setiap pemeluk agama untuk berkontribusi bagi kemanusiaan. Ketiga, semua agama kembali kepada Allah, dan bukan tugas manusia untuk menyelesaikan perbedaan antar agama, apalagi sampai mengeluarkan fatwa.

Toleransi Islam
Islam merupakan peradaban yang pluralistis dan sangat toleran terhadap berbagai kelompok social dan keagamaan. Hal dibuktikan dalam situasi kota Madinah pada zaman Nabi Muhammad SAW. Dalam beberapa hal ayat-ayat yang telah dikutip di atas, mendorong umat Islam untuk mendukung komunitas Muslim yang baru didirikan di Madianh. Intinya bukan untuk memberikankutukan kepada Yahudi dan Nasrani (yang “akan mendapatkan pahala dari Tuhannya”). Namun, ayat tersebut justru mengakui kekhususan komunitas serta hokum Yahudi dan Nasrani, semabari menegaskan bahwa umat Islam berhak mendapatkan perlakuan yang sama seperti komunitas lain tersebut.
Persoalan yang kerap diungkapkann untuk menentang toleransi dalam Isalam adalah mengenai Jihad. Dan banyak orang yang mensalah artikan kata jihad sebagai “perang suci”, yaitu perang terhadap orang-orang kafir atas nama Allah. Oleh karena itu, jihad diartikan sebagai musuh bagi tolerasnsi.
Pada tingkat yang paling mendasar, al-Quran menyatakan bahwa “tidak ada paksaan dalam beragama”. Kebenaran dan kesesatan sudah jelas dan nyata sehingga siapa pun yang ingin beriman akan beriman. Pemaksan untuk masuk ke dalam agama Islam (konversi agama) dilarang.
Menariknya, tradisi Islam tidak mengenal perang suci.[6] Jihad berarti bersungguh-sungguh untuk memperoleh sesuatu (keadilan) dan pernyataan nabi Muhammad SAW yang terkenal adalah jihad yang paling utama adalah berusaha sungguh-sungguh membersihkan hawa nafsu dari hati. Perang suci tidak pernah digunakan  dalam al-Quran maupun para teolog Muslim, sebab dalam Islam perang tidak pernah suci, baik sah maupun tidak. Jika perang tersebut sah,maka orang yang meninggal dalam perang tersebut disebut syahid. Dan kaummuslim hanya boleh berperang jika mereka diperangi. Itu pun ada aturan-aturan atau etika perang yang harus diikuti. Contohnya seperti: dalam perang tidak diperbolehkan membunuh anak-anak dan wanita dan harus diusahakan sesinkat mungkin. Selain itu dalam berperang tidak boleh melampaui batas.
Prinsip-prinsip di atas itulah yang dahulu mendasari berbagai kebijakan politik kebebasan beragama dalam Dunia Islam. Meskipun tidak semua sama seperti zaman modern sekarang ini, namun prinsip-prinsip kebebasan beragama dalam Islam klasik itu sama dengan yang ada sekarang. Bahkan tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kebebasan beragama di zaman modern adalah pengembangan lebih lanjut yang konsisten dengan yang ada dalam Islamm klasik. Contoh kebebasan agama dalam masyarakat islam klasik itu dicerminkan dalam perjanjian yang dibuat oleh Umar bin Khatab dengan penduduk Yerusalem, setelah kota tersebut dibebaskan oleh tentara Muslim. Dimana inti perjanjian tersebut adalah keamanan bagi pemeluk agama lain untuk beribadah sesuai dengan kepercayaannya tanpa diganggu, apalagi dipaksa untuk masuk ke dalam agama Islam.
Sesungguhnya perjanjian Umar dengan peduduk Yerusalem itu konstan dengan semangat perjanjian yang dilakukan oleh nabi Muhammad SAW untuk penduduk Madinah. Diamana pada saat itu, masyarakat Madinah terdiri dari beberapa agama. Perjanjian yang kemudian terkenal dengan Piagam Madinah ini sangat dikagumi oleh sarjana modern, karena merupakan dokumen politik pertama yang meletakan prinsip kebebasan beragama dan berusaha (ekonomi). Bahkan sesungguhnya Nabi juga membuat perjanjian tersendiri yang menjamin kebebasan dan keamanan kaum Kristen di mana saja, sepanjang masa. [7]

Penutup
Pluralisme dalam Islam bukan berarti semua agama adalah sama. Namun, setiap agama memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh keselamatan dari Allah SWT selama ia percaya kepada Tuhan dan hari akhir, dan terutama berbuat baik kepada sesame manusia. Kemanusiaan merupakan inti dari ajranan setiap agama yang dijawantahkan dalam bentuk Tawuhid atau pengesaan Allah.
Pluralisme memunculkan sikap toleransi yang telah ada semejak zaman Islam klasik. Hal ini dapat ditelusuri dari perjanjian yang dibuat oleh Nabi ketika di Madinah, yaitu yang disebut sebagai Piagam Madinah. Dan terus berlanjut pada masa kekhalifahan Umar bin Khatab, dimana saat membebaskan kota Yerusalem melakukan hal  yang sama.
Pluralisme dan toleransi didasarkan pada al-Qur’an. Bila mengacu pada al-Quran, maka hal ini tidak lepas dari bagaimana seseorang dalam menafsirkan al-Quran. Sebab al-Quran selain sebagai Kitab Suci yang dijaga keautentikannya, ia juga tidal lepas dari unsure sejarah yang melingkupinya. Oleh karena al-Quran tidak lepas dari unsure sejarah, maka dalam pembacaannya, harus diutamakan semangat moral dari al-Quran.




DAFTAR PUSTAKA

Budhy Munawar Rachman, Sekulerisme, Liberalisme dan Pluralisme, Jakarta: Grasindo, 2010
Jalaludin Rakhmat, Islam dan Pluralisme, Jakarta: Serambi, 2006.
Khaled Abou El Fadl, Cinta dan Fakta Toleransi Islam, Bandung: Mizan, 2003.
M. Legenhausen, Pluralitas dan Pluralisme AgamaI, Jakarta: Shadra Press, 1999.
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2005.



[1] Budhy Munawar Rachman, Sekulerisme, Liberalisme dan Pluralisme (Jakarta: Grasondp, 2010) hal. XXI
[2] Jalaludin Rakhmat, Islam dan Pluralisme (Jakarta: Serambi, 2006) hal. 21
[3] Ibid. hal. 23
[4] Nurcholis Majid, Islam Doktrin & Peradaban (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2005) hal. 178-179
[5] Ibid. hal. 181
[6] Khaled Abou El Fadl, Cinta dan Fakta Toleransi Islam (Bandung: Mizan, 2003) hal. 34
[7] Op. cit. hal. 194-195

Tidak ada komentar:

Posting Komentar