ABSTRAK
“Trilogi
Pembaharuan” yang diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), yaitu
sekulerisme, liberalism dan sekulerisme sebenarnya dapat dilihat sebagai
pradigma. Sebagai contoh, sekulerisme lahir dari otoritarianiseme agama yang
bersekutu dengan kekuasaan sehingga memasung kebebasan beragama. Liberalism
lahir dari kondisi “tertutupnya piintu ijtihad” yang membelenggu cara berpikir,
dan pluralism lahir dari kondisi masyarakat yang majemuk yang mengandung
potensi konflik.”[1]
Pendahuluan
Kaum
pluralis berkeyakinan bahwa semua pemeluk agama mempunyaai peluang yang sama
untuk memperoleh keselamatan dan masuk surga. Semua agama benar berdasarkan kriteria
masing-masing. Seperti pernyataan Al bana yang dikutip Jalaludin Rakhmat:
“keberanian yang
luar biasa dalam merampas wewenang Allah! Apakah mereka yang memegang
kunci-kunci neraka? Apakah mereka yang menenggelamkan manusia ke dalam neraka?
Atas dasar apa mereka mengambil kesimpulan ini? Bagaimana kesadaran mereka atas
rahmat Allah yang tidak terbatas yang akan membalas satu kebaikan dengan tujuh
ratus kebaikan?.... Dia tidak akan menenggelamkan manusia ke dalam neraka
kecuali manusia pembangkang yang berbuat kerusakan dan kezaliman di muka bumi.”[2]
Jalaludin
Rakhmat berpendapat bahwa kasih sayang Tuhan itu luas, lebih luas dari kasih sayang
ibu kepada anaknya. Pernyataan ini didasarkan pada ayat al-Quran surat
al-Baqarah ayat 62, yang diulang dengan surat al-Maidah ayat 69 dan surat
al-Hajj ayat 17 walaupun dengan redaksi yang berbeda.
“Sesungguhnya
orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang
Shabi’in, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah,
gari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka,
tidak ada kekhawatiran di antara mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”
Ayat-ayat
ini sangat jelas mendukung pluralisme. Dalam ayat ini tidak dikatakan semua
agama adalah sama atau semua agama adalah benar. Namun, dalam ayat ini
dijelaskan bahwa semua penganut agama akan memperoleh keselamatan selama mereka
percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan percaya kepada hari kiamat serta berbuat
baik antar sesama.
Sebagian
musafir yang ekslusif mengakui makna ayat-ayat tersebut sebagaimana di atas.
Namun, mereka menganggap ayat-ayat teresebut telah dihapus oleh surat Ali Imran
ayat 85 yang artinya:“barangsiapa mencari
agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya,
dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang merugi”.
Namun
menurut Sayyid Husseyn Fadhullah, makna ayat ini tidaklah bertentangan dengan
makna ayat yang telah kita bicarakan.[3] Dalam surat Ali Imran ayat 85 konteks Islam di
sini bukanlah mengacu pada Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, tapi Islam
dalam arti umum, yang meliputi semua risalah langit. Menurut al-Quran semua
agama adalah Islam. Ini diperkuat dengan ayat-ayat yang lain: Ingatlah ketika
Tuhannya berkata kepadanya (Ibrahim); Islamlah kamu. Ibrahim berkata: Aku Islam
kepada Tuhan Semesta Alam. Dan ketika Ibrahim dan Ya’qub berwasiat dengannya
kepada anak-anaknya: wahai anak-anaku,
sesungguhnya Allah telah memilih bagi kamu agama, maka janganlah kamu mati
kecuali kamu menjadi orang-orang Islam (Q.S. al-Baqarah: 131-132).
Peluang dan kesempatan yang sama untuk
memperoleh surga bagi semua pemeluk agama merupakan hal yang mungkin menurut
penulis bila didasarkan pada argumen-argumen di atas. Namun argumen di atas
masih belum cukup untuk menguatkan pernyataan tersebut.
Kebenaran Universal
Salah
satu kesadaran umat Muslim adalah bahwa agama Islam adalah agama yang
universal, bagi seluruh umat manusia. Landasan prinsip ini adalah Kitab Suci
bahwa kebenaran universal dengan sendirinya adalah tunggal, meskipun ada
kemungkinan manifestasi lahiriahnya beraneka ragam.[4]
Ini juga menghasilkan pandangan antorpologis bahwa pada mulanya umat manusia
adalah tunggal, namun ketika kebenaran itu datang, maka mereka berselisih
mengenai kebenaran itu sesuai tingkatan pemahaman masing-masing. Kesatuan asal
umat manusia ini digambarkan dalam firman Tuhan:
“Semula manusia
adalah umat yang tunggal, kemudian Allah mengutus para nabi yang membawa kabar
gembira dan member peringatan, dan Dia menurunkan bersama para nabi itu kitab
suci untuk menjadi pedoman bagi manusia berkenaan dengan hal-hal yang mereka
perselisihkan; dan tidaklah berselisih tentang hal itu kecuali mereka yang
telah menerima kitab suci itu seudah dating kepada mereka berbagai keterangan,
karena persaingan antara mereka. Kemudian Allah member petunjuk kepada
orang-orang yang beriman dengan izin-Nya, berkenaan dengan kebenaran yang
mereka perselisihkan itu. Allah member petunjuk kepada siapa saja yang
dikehendaki oleh-Nya kea rah jalan yang lurus”. (Q.S. al-Baqarah: 213)
Inti
dari kebenaran universal adalah paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau Tawhid. Konsekuensi terpenting Tawhid adalah sikap pasrah sepenuhnya
hanya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, tanpa kemungkinan member peluang
kepada yang selain-Nya. Inilah al-Islam, inti
sari semua agama yang benar, menurut Ibn Tamiyah yang dikutip oleh Nurcholis
Majid:
“Perkataan
(Arab) “al-Islam” mengandung
pengertian perkataan “al-istislam”
(sikap berserah diri) dan “al-inqiyad” (tunduk
patuh), serta mengandung pula perkataan “al-ikhlas” (tulus)…Maka tidak boleh tidak dalam
Islam harus ada sikap berserah diri kepada Allah Yang Maha Esa, dan
meninggalkan sikap berserah diri kepada yang lain. Inilah hakikat ucapan kita “La ilaha illa Allah”. Maka jika seorang
berserah diri kepada Allah dan (sekaligus juga) kepada selain Allah, dia adalah
musyrik.”[5]
Karena
prinsip ajaran nabi dan rasul sama, maka para pengikut semua nabi dan rasul
adalah umat yang tunggal. Dengan kata lain, konsep kesatuan ajaran membawa
kepada konsep kesatuan kenabian dan kerasulan, yang kemudian, dalam urutannya
sendiri, membawa kepada konsep kesatuan umat beriman. Dan pada akhirnya
kesatuan keselamatan.
Jika
semua agama adalah benar, maka kenapa Tuhan menciptakan keragaman agama, kenapa
Allah tidak menciptakan satu agama saja? Al-Quran menjawab pertanyaan ini dalam
surat al-Maidah ayat 48:
“untuk tiap-tiap
umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberiannya kepada kamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya. Lalu diberitahukannya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”
Dari
ayat di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa setiap agama memiliki aturan
(syariat) dan jalan hidupnya (aqidah)
sendiri-sendiri. Ini dimaksudkan bahwa setiap agama itu berbeda dan tidak sama
antara satu dengan yang lainya. Kedua, perbedaan
tersebut adalah niscaya, dan merupakan ujjian bagi setiap pemeluk agama untuk
berkontribusi bagi kemanusiaan. Ketiga, semua
agama kembali kepada Allah, dan bukan tugas manusia untuk menyelesaikan
perbedaan antar agama, apalagi sampai mengeluarkan fatwa.
Toleransi Islam
Islam
merupakan peradaban yang pluralistis dan sangat toleran terhadap berbagai
kelompok social dan keagamaan. Hal dibuktikan dalam situasi kota Madinah pada
zaman Nabi Muhammad SAW. Dalam beberapa hal ayat-ayat yang telah dikutip di
atas, mendorong umat Islam untuk mendukung komunitas Muslim yang baru didirikan
di Madianh. Intinya bukan untuk memberikankutukan kepada Yahudi dan Nasrani (yang
“akan mendapatkan pahala dari Tuhannya”). Namun, ayat tersebut justru mengakui
kekhususan komunitas serta hokum Yahudi dan Nasrani, semabari menegaskan bahwa
umat Islam berhak mendapatkan perlakuan yang sama seperti komunitas lain
tersebut.
Persoalan
yang kerap diungkapkann untuk menentang toleransi dalam Isalam adalah mengenai
Jihad. Dan banyak orang yang mensalah artikan kata jihad sebagai “perang suci”,
yaitu perang terhadap orang-orang kafir atas nama Allah. Oleh karena itu, jihad
diartikan sebagai musuh bagi tolerasnsi.
Pada
tingkat yang paling mendasar, al-Quran menyatakan bahwa “tidak ada paksaan
dalam beragama”. Kebenaran dan kesesatan sudah jelas dan nyata sehingga siapa
pun yang ingin beriman akan beriman. Pemaksan untuk masuk ke dalam agama Islam
(konversi agama) dilarang.
Menariknya,
tradisi Islam tidak mengenal perang suci.[6] Jihad
berarti bersungguh-sungguh untuk memperoleh sesuatu (keadilan) dan pernyataan
nabi Muhammad SAW yang terkenal adalah jihad yang paling utama adalah berusaha
sungguh-sungguh membersihkan hawa nafsu dari hati. Perang suci tidak pernah
digunakan dalam al-Quran maupun para
teolog Muslim, sebab dalam Islam perang tidak pernah suci, baik sah maupun
tidak. Jika perang tersebut sah,maka orang yang meninggal dalam perang tersebut
disebut syahid. Dan kaummuslim hanya boleh berperang jika mereka diperangi. Itu
pun ada aturan-aturan atau etika perang yang harus diikuti. Contohnya seperti:
dalam perang tidak diperbolehkan membunuh anak-anak dan wanita dan harus
diusahakan sesinkat mungkin. Selain itu dalam berperang tidak boleh melampaui
batas.
Prinsip-prinsip
di atas itulah yang dahulu mendasari berbagai kebijakan politik kebebasan
beragama dalam Dunia Islam. Meskipun tidak semua sama seperti zaman modern
sekarang ini, namun prinsip-prinsip kebebasan beragama dalam Islam klasik itu
sama dengan yang ada sekarang. Bahkan tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa
kebebasan beragama di zaman modern adalah pengembangan lebih lanjut yang
konsisten dengan yang ada dalam Islamm klasik. Contoh kebebasan agama dalam
masyarakat islam klasik itu dicerminkan dalam perjanjian yang dibuat oleh Umar
bin Khatab dengan penduduk Yerusalem, setelah kota tersebut dibebaskan oleh
tentara Muslim. Dimana inti perjanjian tersebut adalah keamanan bagi pemeluk
agama lain untuk beribadah sesuai dengan kepercayaannya tanpa diganggu, apalagi
dipaksa untuk masuk ke dalam agama Islam.
Sesungguhnya
perjanjian Umar dengan peduduk Yerusalem itu konstan dengan semangat perjanjian
yang dilakukan oleh nabi Muhammad SAW untuk penduduk Madinah. Diamana pada saat
itu, masyarakat Madinah terdiri dari beberapa agama. Perjanjian yang kemudian
terkenal dengan Piagam Madinah ini sangat dikagumi oleh sarjana modern, karena
merupakan dokumen politik pertama yang meletakan prinsip kebebasan beragama dan
berusaha (ekonomi). Bahkan sesungguhnya Nabi juga membuat perjanjian tersendiri
yang menjamin kebebasan dan keamanan kaum Kristen di mana saja, sepanjang masa.
[7]
Penutup
Pluralisme
dalam Islam bukan berarti semua agama adalah sama. Namun, setiap agama memiliki
kesempatan yang sama untuk memperoleh keselamatan dari Allah SWT selama ia
percaya kepada Tuhan dan hari akhir, dan terutama berbuat baik kepada sesame
manusia. Kemanusiaan merupakan inti dari ajranan setiap agama yang dijawantahkan
dalam bentuk Tawuhid atau pengesaan
Allah.
Pluralisme
memunculkan sikap toleransi yang telah ada semejak zaman Islam klasik. Hal ini
dapat ditelusuri dari perjanjian yang dibuat oleh Nabi ketika di Madinah, yaitu
yang disebut sebagai Piagam Madinah. Dan terus berlanjut pada masa kekhalifahan
Umar bin Khatab, dimana saat membebaskan kota Yerusalem melakukan hal yang sama.
Pluralisme
dan toleransi didasarkan pada al-Qur’an. Bila mengacu pada al-Quran, maka hal
ini tidak lepas dari bagaimana seseorang dalam menafsirkan al-Quran. Sebab
al-Quran selain sebagai Kitab Suci yang dijaga keautentikannya, ia juga tidal
lepas dari unsure sejarah yang melingkupinya. Oleh karena al-Quran tidak lepas
dari unsure sejarah, maka dalam pembacaannya, harus diutamakan semangat moral
dari al-Quran.
DAFTAR
PUSTAKA
Budhy Munawar Rachman, Sekulerisme, Liberalisme dan Pluralisme,
Jakarta: Grasindo, 2010
Jalaludin Rakhmat, Islam dan Pluralisme, Jakarta: Serambi, 2006.
Khaled Abou El Fadl, Cinta dan Fakta Toleransi Islam,
Bandung: Mizan, 2003.
M. Legenhausen, Pluralitas dan Pluralisme AgamaI, Jakarta: Shadra Press, 1999.
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2005.
[1]
Budhy Munawar Rachman, Sekulerisme,
Liberalisme dan Pluralisme (Jakarta: Grasondp, 2010) hal. XXI
[2]
Jalaludin Rakhmat, Islam dan Pluralisme
(Jakarta: Serambi, 2006) hal. 21
[3]
Ibid. hal. 23
[4]
Nurcholis Majid, Islam Doktrin &
Peradaban (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2005) hal. 178-179
[5]
Ibid. hal. 181
[6]
Khaled Abou El Fadl, Cinta dan Fakta
Toleransi Islam (Bandung: Mizan, 2003) hal. 34
[7]
Op. cit. hal. 194-195
Tidak ada komentar:
Posting Komentar