Kamis, 17 Oktober 2013

"ILMU JIWA IBN SINA"

Ibn Sina berkata dalam riwayat hidupnya, “Peristiwa-peristiwa terjadi, dan berbagai cobaan menimpa saya; andai semua itu menimpa gunung-gunung tinggi, niscaya mereka pun bakal hancur luluh rata dengan tanah.”[1]
Meskipun Ibn Sina hidup dalam prahara politik, terbuang dari kampong halamannya dan terus bergerak dari kota ke kota untuk bertahan hidup, Ibn Sina tetap produktif. Dia aktif dalam politik dan pemerintahan. Dia dokter yang berpraktek sekaligus filusuf yang terkenal. Dia menulis ratusan karya, dan 200 lebih karyanya masih lestari, sebagian besarnya belum dipelajari rinci.[2]
Sebagai seorang filosof tentu saja Ibn Sina tidak luput dari pembahasan mengenai jiwa manusia, karena jiwa merupakan bagian yang paling dekat dengan diri kita dan sangat misterius. Seperti diungkapkan dalam Risalah al-Quwa an-Nafssaniyyah (Risalah tentang Fakultas-fakultas Jiwa) yang disusun untuk al-Amir Nuh bin Manshur dan termasuk salah satu karyanya yang paling awal.[3]
Penulisan yang kedua oleh Ibn Sina yang membahas mengenai jiwa di tunjukan kepada Ikhwan ash-Shafa, dikarenakan permintaan dari persaudaraan ini. Hal ini dapat terlihat dari pengantar yang ditulis oleh Ibn Sina:
“inilah risalah yang kususun untuk memmenuhi permintaan al-Ikhwan (Ikhwan ash-Shafa) yang meliputi argumentasi utama tentang keadaan jiwa manusia dan juga mencakup pembahasan paripurna tentang kekelan jiwa—meskipun bbadan telah binasa. Risalah ini juga secara ringkas membahas perihal kehidupan kedua (nay’ah tsaniyah) dan akibat-akibatnya.”[4]



Definisi Jiwa
Menurut Ibn Sina pengertian jiwa harus mencakup beberapa fakultas, yaitu yang pertama, fakultas yang melakukan aktivitasnya dalam fisik dengan sengaja dan atas dasar kehendak sendiri terbagi ke dalam dua bagian, yaitu (1) yang memiliki kemajemukan tujuan dan pilihan, sehingga aktivitas fisiknya memiliki banyak aspek, seerti gerakan dari atas ke bawah, dan (2) yang memiliki kesatuan tujuan serta pilihan sehingga aktivitasnya memiliki satu aspek dan cara.
Kedua, fakultas yang memiliki aktivitasnya sendiri dalam fisik serta bekerja atas dasar keterpaksaan, tanpa satu tujuan dan pilihan, juga terbagi dua, yaitu (1) yang memiliki kesatuan arah tindakan, seperti fakultas aktif pada gerakan api ke atas dan (2) yang memiliki kemajuemukan tiandakan, seperti fakultas aktif pada penjululuran anggota tubuh pada hewan dan tumbuhan yang bergerak ke berbagai arah.[5]
Jadi, jumlah fakultas itu sebenarnya ada empat. Masing-masing fakultas ini merupakan satu genus yang mencakup spesies-spesies. Namun, dalam sifat alaminya, masing-masing memiliki nama sendiri.
Fakultas aktif yang bekerja dengan keterpaksaan dalam kemajemukan satu arah disebut thabi’ah (alam fisik).
Fakultas aktif yang bekerja dengan keterpaksaan dalam kemajemukan arah dan spesies disebut jiwa nabati (an-nafs an-nabatiyah).
Fakultas aktif yang bekerja dengan sesuatu tujuan dan pilihan sendiri yang berbeda yang menyebabkan perbedaan tindakan yang terjadi padanya disebut jiwa hewani (an-nafs al-hayawaniyah).
Fakultas aktif yang bekerja dengan suatu tujuan dan pilihan sendiri dalam kesatuan arah dan tujuan disebut jiwa malaikat (an-nafs al-malakkiyah).[6]
Fakultas-Fakultas Jiwa dan Potensi-Potensi Jiwa
Fakultas jiwa terbagi ke dalam tiga bagian . Pertama, jiwa nabati, dimana fungsinya terbatas pada makan, tumbuh dan reproduksi.[7] Kedua, jiwa hewani yang memiliki daya penggerak (al-quwwah al-muharikkah), dimana daya pengerak terdiri dari dua macam, yakni daya penggerak sebagai motif (daya kecendrungan dan hasrat) dan daya penggerak sebagai subjek (daya yang keluar di dalam otot-otot dan saraf-saraf yang berfungsi menarik otot-otot dan organ)  dan daya persepsi (al-quwwah al-mudrikah.
Sedangkan perepsi yang terdapat pada jiwa hewani terbagi ke dalam dua macam, yaitu persepsi eksternal (ada lima macam: penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan dan perabaan) dan persepsi internal yang  terbagi—diantaranya—ke dalam lima fakultas, yakni fakultas phantasia, fakultas imajinasi dan formatif, fakultas imajinatif yang terkait dengan jiwa hewani dan fakultas kognitif yang berkait dengan jiwa insane. Fakultas estimasi dan yang terakhir fakultas memori.
Adapun fakultas-fakultas jiwa rasional insani terbagi kedalam dua fakultas yiatu, fakultas praktis yang merupakan sumber gerakan pada badan manusia untuk melakukan tindakan-tiandakan particular khusus berkenaan dengan pertimbangan yang hati-hati atas tuntutan pendapat-pendapat yang dikhususkan oleh peristilahan. Serta fakultas teoritis merupakan fakultas yang dimilikinya dalam kaitan dengan aspek di atasnya karena terpengearuh, diperoleh dan menerima darinya.[8]
Jiwa manusia dan rasional melkukan tindakan-tindakan maupun reaksi-reaksi jasmaniah, atau tindkan murni intelektif. Tindakan dan reaksi-reaksi jasmaniah bukanlah milik jiwa rasional. Semua itu berasal dari jiwa rasional dan badan. Tindakan yang dijalankan oleh jiwa rasional dalam kerjasamanya dengan badan dicontohkan oleh usaha mempertimbangkan hal-hal tertentu yang harus dilakukan atau dihindari secara sukarela, termasuk keterampilan-keterampilan praktis seperti pertukangan, bercocok tanam dan berternak.[9] Tindakan-tindakan murni intelektif, yang dijalankan oleh jiwa rasional, terdiri dari memahami kuiditas atau sifat dasar memahami segala sesuatu sebagai konsep-konsep universal, seperti “kemanusiaan”.[10]
Seperti telah disebutkan, jiwa rasional mempunyai dua bagian, yang satu mempunyai kapasitas untuk mengetahui. Yang pertama, disebut intelek praktis, yang mengarah pada badan. Sedangkan yang kedua, intelek teoritis, yang mengarah pada dunia illahiag.
Intelek teoritis bergerak melalui empat tahapan. Pertama, dalam bentuk potensi dan belum membentuk konsep atau menangkap intelejibel. Kedua, adalah tahapan ketika potensi diaktualisasikan oleh keberadaan intelijibel-intelijibel primer didalamnya. Tahapan ketiga ketika perolehan intelijebel-intelijebel berlangsung konstan. Tahapan keempat adalah tahapan menjadi intelijibel-intelijibel itu sendiri.
Kesimpulan
Jiwa adalah kesempurnaan bagi fisik. Namun kesempurnaan bagi raga kadang-kadang merupakan permulaan dan kadang-kadang setelah permulaan itu. Sesungguhnya pengindraan dan penggerakan juga merupakan kesempurnaan bagi spesies hewan. Adapun jiwa adlah permulaan dari hal ini. Oleh karna itu,, Ibn Sina mengatakan jiwa merupakankesempurnaan bagi raga, karena keswempurnaan-kesempurnaan utama bagi fisik alami berbeda-beda menurut perbedaan fisik-fisik alami dan menurut karakteristik fisik-fisik alamai tersebut. Kemudian, jiwa adalah kesempurnaan bagi suatu spesies dari fisik-fisik alami dengan demikian, jiwa adalah kesempurnaan bagi fisik alami mekanik, atau bagi fisik yang memiliki potensi kehidupan, yakni yang akan hidup dengan pertumbuhan dan akan abadi dengan makanan. Ia hanya akan hidup dengan pengindraan dan penggerakan sekaligus dalam fakultasnya.
DAFTAR PUSTAKA

Aisha Khan, 2006, Avicena, Muara, Jakarta
Ibn Sina, 2009, Psikologi Ibn Sina,Pustaka hidayah, Bandung.
Shams Inati, 2003, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Mizan, Bandung.




[1] Aisha Khan. Avicena (Jakarta:Muara, 2006) hal. 107
[2] Ibid
[3] Ibn Sina, Psikologi Ibn Sina (Bandung: Pustaka Hidayah, 2009) hal. 11-12
[4] Ibid. hal. 53
[5] Ibid. hal. 56
[6] Ibid. hal 56-57
[7] Shams Inati, Enslikopedi Tematis Filsafat Islam Buku Pertama (Bandung: Mizan, 2003) hal. 293
[8] Op. Cit. hal. 68-69
[9] Op. cit hal. 295
[10] Ibid

KESELAMATAN DALAM ISLAM DAN TOLERANSI

ABSTRAK
“Trilogi Pembaharuan” yang diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), yaitu sekulerisme, liberalism dan sekulerisme sebenarnya dapat dilihat sebagai pradigma. Sebagai contoh, sekulerisme lahir dari otoritarianiseme agama yang bersekutu dengan kekuasaan sehingga memasung kebebasan beragama. Liberalism lahir dari kondisi “tertutupnya piintu ijtihad” yang membelenggu cara berpikir, dan pluralism lahir dari kondisi masyarakat yang majemuk yang mengandung potensi konflik.”[1]
Pendahuluan
Kaum pluralis berkeyakinan bahwa semua pemeluk agama mempunyaai peluang yang sama untuk memperoleh keselamatan dan masuk surga. Semua agama benar berdasarkan kriteria masing-masing. Seperti pernyataan Al bana yang dikutip Jalaludin Rakhmat:
“keberanian yang luar biasa dalam merampas wewenang Allah! Apakah mereka yang memegang kunci-kunci neraka? Apakah mereka yang menenggelamkan manusia ke dalam neraka? Atas dasar apa mereka mengambil kesimpulan ini? Bagaimana kesadaran mereka atas rahmat Allah yang tidak terbatas yang akan membalas satu kebaikan dengan tujuh ratus kebaikan?.... Dia tidak akan menenggelamkan manusia ke dalam neraka kecuali manusia pembangkang yang berbuat kerusakan dan kezaliman di muka bumi.”[2]
Jalaludin Rakhmat berpendapat bahwa kasih sayang Tuhan itu luas, lebih luas dari kasih sayang ibu kepada anaknya. Pernyataan ini didasarkan pada ayat al-Quran surat al-Baqarah ayat 62, yang diulang dengan surat al-Maidah ayat 69 dan surat al-Hajj ayat 17 walaupun dengan redaksi yang berbeda.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabi’in, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, gari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran di antara mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”
Ayat-ayat ini sangat jelas mendukung pluralisme. Dalam ayat ini tidak dikatakan semua agama adalah sama atau semua agama adalah benar. Namun, dalam ayat ini dijelaskan bahwa semua penganut agama akan memperoleh keselamatan selama mereka percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan percaya kepada hari kiamat serta berbuat baik antar sesama.
Sebagian musafir yang ekslusif mengakui makna ayat-ayat tersebut sebagaimana di atas. Namun, mereka menganggap ayat-ayat teresebut telah dihapus oleh surat Ali Imran ayat 85 yang artinya:“barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang merugi”.
Namun menurut Sayyid Husseyn Fadhullah, makna ayat ini tidaklah bertentangan dengan makna ayat yang telah kita bicarakan.[3]  Dalam surat Ali Imran ayat 85 konteks Islam di sini bukanlah mengacu pada Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, tapi Islam dalam arti umum, yang meliputi semua risalah langit. Menurut al-Quran semua agama adalah Islam. Ini diperkuat dengan ayat-ayat yang lain: Ingatlah ketika Tuhannya berkata kepadanya (Ibrahim); Islamlah kamu. Ibrahim berkata: Aku Islam kepada Tuhan Semesta Alam. Dan ketika Ibrahim dan Ya’qub berwasiat dengannya kepada anak-anaknya: wahai anak-anaku, sesungguhnya Allah telah memilih bagi kamu agama, maka janganlah kamu mati kecuali kamu menjadi orang-orang Islam (Q.S. al-Baqarah: 131-132).
 Peluang dan kesempatan yang sama untuk memperoleh surga bagi semua pemeluk agama merupakan hal yang mungkin menurut penulis bila didasarkan pada argumen-argumen di atas. Namun argumen di atas masih belum cukup untuk menguatkan pernyataan tersebut.

Kebenaran Universal
Salah satu kesadaran umat Muslim adalah bahwa agama Islam adalah agama yang universal, bagi seluruh umat manusia. Landasan prinsip ini adalah Kitab Suci bahwa kebenaran universal dengan sendirinya adalah tunggal, meskipun ada kemungkinan manifestasi lahiriahnya beraneka ragam.[4] Ini juga menghasilkan pandangan antorpologis bahwa pada mulanya umat manusia adalah tunggal, namun ketika kebenaran itu datang, maka mereka berselisih mengenai kebenaran itu sesuai tingkatan pemahaman masing-masing. Kesatuan asal umat manusia ini digambarkan dalam firman Tuhan:
“Semula manusia adalah umat yang tunggal, kemudian Allah mengutus para nabi yang membawa kabar gembira dan member peringatan, dan Dia menurunkan bersama para nabi itu kitab suci untuk menjadi pedoman bagi manusia berkenaan dengan hal-hal yang mereka perselisihkan; dan tidaklah berselisih tentang hal itu kecuali mereka yang telah menerima kitab suci itu seudah dating kepada mereka berbagai keterangan, karena persaingan antara mereka. Kemudian Allah member petunjuk kepada orang-orang yang beriman dengan izin-Nya, berkenaan dengan kebenaran yang mereka perselisihkan itu. Allah member petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya kea rah jalan yang lurus”. (Q.S. al-Baqarah: 213)
Inti dari kebenaran universal adalah paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau Tawhid. Konsekuensi terpenting Tawhid adalah sikap pasrah sepenuhnya hanya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, tanpa kemungkinan member peluang kepada yang selain-Nya. Inilah al-Islam, inti sari semua agama yang benar, menurut Ibn Tamiyah yang dikutip oleh Nurcholis Majid:
“Perkataan (Arab) “al-Islam” mengandung pengertian perkataan “al-istislam” (sikap berserah diri) dan “al-inqiyad” (tunduk patuh), serta mengandung pula perkataan “al-ikhlas”  (tulus)…Maka tidak boleh tidak dalam Islam harus ada sikap berserah diri kepada Allah Yang Maha Esa, dan meninggalkan sikap berserah diri kepada yang lain. Inilah hakikat ucapan kita “La ilaha illa Allah”. Maka jika seorang berserah diri kepada Allah dan (sekaligus juga) kepada selain Allah, dia adalah musyrik.”[5]
Karena prinsip ajaran nabi dan rasul sama, maka para pengikut semua nabi dan rasul adalah umat yang tunggal. Dengan kata lain, konsep kesatuan ajaran membawa kepada konsep kesatuan kenabian dan kerasulan, yang kemudian, dalam urutannya sendiri, membawa kepada konsep kesatuan umat beriman. Dan pada akhirnya kesatuan keselamatan.
Jika semua agama adalah benar, maka kenapa Tuhan menciptakan keragaman agama, kenapa Allah tidak menciptakan satu agama saja? Al-Quran menjawab pertanyaan ini dalam surat al-Maidah ayat 48:
“untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberiannya kepada kamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya. Lalu diberitahukannya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”
Dari ayat di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa setiap agama memiliki aturan (syariat) dan jalan hidupnya (aqidah) sendiri-sendiri. Ini dimaksudkan bahwa setiap agama itu berbeda dan tidak sama antara satu dengan yang lainya. Kedua, perbedaan tersebut adalah niscaya, dan merupakan ujjian bagi setiap pemeluk agama untuk berkontribusi bagi kemanusiaan. Ketiga, semua agama kembali kepada Allah, dan bukan tugas manusia untuk menyelesaikan perbedaan antar agama, apalagi sampai mengeluarkan fatwa.

Toleransi Islam
Islam merupakan peradaban yang pluralistis dan sangat toleran terhadap berbagai kelompok social dan keagamaan. Hal dibuktikan dalam situasi kota Madinah pada zaman Nabi Muhammad SAW. Dalam beberapa hal ayat-ayat yang telah dikutip di atas, mendorong umat Islam untuk mendukung komunitas Muslim yang baru didirikan di Madianh. Intinya bukan untuk memberikankutukan kepada Yahudi dan Nasrani (yang “akan mendapatkan pahala dari Tuhannya”). Namun, ayat tersebut justru mengakui kekhususan komunitas serta hokum Yahudi dan Nasrani, semabari menegaskan bahwa umat Islam berhak mendapatkan perlakuan yang sama seperti komunitas lain tersebut.
Persoalan yang kerap diungkapkann untuk menentang toleransi dalam Isalam adalah mengenai Jihad. Dan banyak orang yang mensalah artikan kata jihad sebagai “perang suci”, yaitu perang terhadap orang-orang kafir atas nama Allah. Oleh karena itu, jihad diartikan sebagai musuh bagi tolerasnsi.
Pada tingkat yang paling mendasar, al-Quran menyatakan bahwa “tidak ada paksaan dalam beragama”. Kebenaran dan kesesatan sudah jelas dan nyata sehingga siapa pun yang ingin beriman akan beriman. Pemaksan untuk masuk ke dalam agama Islam (konversi agama) dilarang.
Menariknya, tradisi Islam tidak mengenal perang suci.[6] Jihad berarti bersungguh-sungguh untuk memperoleh sesuatu (keadilan) dan pernyataan nabi Muhammad SAW yang terkenal adalah jihad yang paling utama adalah berusaha sungguh-sungguh membersihkan hawa nafsu dari hati. Perang suci tidak pernah digunakan  dalam al-Quran maupun para teolog Muslim, sebab dalam Islam perang tidak pernah suci, baik sah maupun tidak. Jika perang tersebut sah,maka orang yang meninggal dalam perang tersebut disebut syahid. Dan kaummuslim hanya boleh berperang jika mereka diperangi. Itu pun ada aturan-aturan atau etika perang yang harus diikuti. Contohnya seperti: dalam perang tidak diperbolehkan membunuh anak-anak dan wanita dan harus diusahakan sesinkat mungkin. Selain itu dalam berperang tidak boleh melampaui batas.
Prinsip-prinsip di atas itulah yang dahulu mendasari berbagai kebijakan politik kebebasan beragama dalam Dunia Islam. Meskipun tidak semua sama seperti zaman modern sekarang ini, namun prinsip-prinsip kebebasan beragama dalam Islam klasik itu sama dengan yang ada sekarang. Bahkan tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kebebasan beragama di zaman modern adalah pengembangan lebih lanjut yang konsisten dengan yang ada dalam Islamm klasik. Contoh kebebasan agama dalam masyarakat islam klasik itu dicerminkan dalam perjanjian yang dibuat oleh Umar bin Khatab dengan penduduk Yerusalem, setelah kota tersebut dibebaskan oleh tentara Muslim. Dimana inti perjanjian tersebut adalah keamanan bagi pemeluk agama lain untuk beribadah sesuai dengan kepercayaannya tanpa diganggu, apalagi dipaksa untuk masuk ke dalam agama Islam.
Sesungguhnya perjanjian Umar dengan peduduk Yerusalem itu konstan dengan semangat perjanjian yang dilakukan oleh nabi Muhammad SAW untuk penduduk Madinah. Diamana pada saat itu, masyarakat Madinah terdiri dari beberapa agama. Perjanjian yang kemudian terkenal dengan Piagam Madinah ini sangat dikagumi oleh sarjana modern, karena merupakan dokumen politik pertama yang meletakan prinsip kebebasan beragama dan berusaha (ekonomi). Bahkan sesungguhnya Nabi juga membuat perjanjian tersendiri yang menjamin kebebasan dan keamanan kaum Kristen di mana saja, sepanjang masa. [7]

Penutup
Pluralisme dalam Islam bukan berarti semua agama adalah sama. Namun, setiap agama memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh keselamatan dari Allah SWT selama ia percaya kepada Tuhan dan hari akhir, dan terutama berbuat baik kepada sesame manusia. Kemanusiaan merupakan inti dari ajranan setiap agama yang dijawantahkan dalam bentuk Tawuhid atau pengesaan Allah.
Pluralisme memunculkan sikap toleransi yang telah ada semejak zaman Islam klasik. Hal ini dapat ditelusuri dari perjanjian yang dibuat oleh Nabi ketika di Madinah, yaitu yang disebut sebagai Piagam Madinah. Dan terus berlanjut pada masa kekhalifahan Umar bin Khatab, dimana saat membebaskan kota Yerusalem melakukan hal  yang sama.
Pluralisme dan toleransi didasarkan pada al-Qur’an. Bila mengacu pada al-Quran, maka hal ini tidak lepas dari bagaimana seseorang dalam menafsirkan al-Quran. Sebab al-Quran selain sebagai Kitab Suci yang dijaga keautentikannya, ia juga tidal lepas dari unsure sejarah yang melingkupinya. Oleh karena al-Quran tidak lepas dari unsure sejarah, maka dalam pembacaannya, harus diutamakan semangat moral dari al-Quran.




DAFTAR PUSTAKA

Budhy Munawar Rachman, Sekulerisme, Liberalisme dan Pluralisme, Jakarta: Grasindo, 2010
Jalaludin Rakhmat, Islam dan Pluralisme, Jakarta: Serambi, 2006.
Khaled Abou El Fadl, Cinta dan Fakta Toleransi Islam, Bandung: Mizan, 2003.
M. Legenhausen, Pluralitas dan Pluralisme AgamaI, Jakarta: Shadra Press, 1999.
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2005.



[1] Budhy Munawar Rachman, Sekulerisme, Liberalisme dan Pluralisme (Jakarta: Grasondp, 2010) hal. XXI
[2] Jalaludin Rakhmat, Islam dan Pluralisme (Jakarta: Serambi, 2006) hal. 21
[3] Ibid. hal. 23
[4] Nurcholis Majid, Islam Doktrin & Peradaban (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2005) hal. 178-179
[5] Ibid. hal. 181
[6] Khaled Abou El Fadl, Cinta dan Fakta Toleransi Islam (Bandung: Mizan, 2003) hal. 34
[7] Op. cit. hal. 194-195

Pemikiran Hermeneutic Martin Heidegger

1.1.    Latar Belakang
Problematika mendasar dalam mengkaji sebuah teks adalah problema penapsiran, baik teks historis maupun teks keagamaan—terutama Kitab Suci. Yang terpenting dari semua itu adalah bagaimana agar problema tersebut tidak mengacaukan relasi antara penafsir dengan teks. Relasi antara penafsir dan teks ini adalah masalah serius dan merupakan pijakan awal bagi para filosof hermeneutic. Hal ini adalah aspek yang paling banyak dilupakakan dalam berbagai studi sastra, sejak era Plato hingga jaman modern. (Nasr Hamid Abu Zayd; 2003; hal. 33)


 
Sebeleum kita melangkah lebih jauh pertama-tama kita harus memamhami terlebih dahulu apa itu hermeneutic. Jika kita mendengar kata hermeneutic, maka pikiran kita akan diarahkan pada nama dewa dalam mitologi Yunani, yaitu dewa Hermes. Hermes bertugas menyampaikan pesan dari pada dewa kepada manusia, sehingga dapat dikatakan, ia tidak hanya mengumumkan kata demi kata, melainkan juga bertindak sebagai penterjemah yang membuat kata-kata para dewa dapat dimengerti dan bermakna bagi manusia. Kita juga sering menyebutnya sebagai tafsiran. Hermeneutic secara konsekuen terikat pada dua tugas yaitu memastikan isi dan makna sebuah kata, kalimat, teks dan lain sebagainya, serta menemukan intruksi-intruksi yang terdapat di dalam bentuk-bentuk simbolis. (Josef Bleicher; 2003; hal. 5)
Hermeneutik berarti interprestasi. Kadang hermeneutic  berkaitan dengan teori  mengenai interprestasi sebuah teks dengan benar. “Hermeneutic” dan “interprestasi” berasal dari akar kata Yunani yang sama. Interprestasi lebih umum digunakan dari pada hermeneutic, kita menggunakan interprestasi dalam berbagai bidang study, seperti interprestasi dalam sebuah novel, puisi, permainan dan film. Dan kita juga menggnakan interprestasi untuk memahami sebuah kitab suci. (Lawrence K. Schmidt; hal. 1)
Hermeneutik adalah istilah yang telah ada sejak dahulu  dan pertama kali digunakan oleh berbagai kelompok study teologis untuk menyebut sejumlah kaidah dan aturan-aturan standar yang harus diikuti oleh seorang penafsir untuk dapat memahami teks keagamaan (Kitab Suci). Dalam hal ini hermeneutic menjadi berbeda dengan tafsir [Inggris: exegesis]. Jika exegesis  adalah tafsir itu sendiri dengan berbagai rinciannya yang praktis, maka hermeneutic lebih cenderung pada teori penafsirannya. Pengertian hermeneutic seperti ini muncul sejak tahun 1654 M, dan terus berlaku hingga sekarang, terutama dikalangan Protestanisme. (Nasr Hamid Abu Zayd; hal. 33-34) Beberapa buku dalam bahasa Inggris mengenai hermeneutic lebih pada konteks teologi . Martin Heidegger, yang baru-baru ini menerbitkan kumpulan essay, mendiskusikan mengenai karakteristik hermeneutic menurut pemikiriannnya, baik dulu maupun sekarang.

1.1.       Pembatasan Masalah
Pada makalah ini pembahasan akan di batasi hanya pada “Pemikiran Hermeneutic Heidegger”
1.1.       Perumusan Masalah
Dari pembatasan masalah di atas, maka masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Apa latar belakang pemikirian dari Martin Heidegger?
2.      Bagaimana Pemikiran Hermeneutic Martin Heidegger?
3.      Apa tujuan dari hermeneutic Martin Heideger?
2.1.    Riwayat Hidup
Akhir abda ke delapan belas adalah masa dimana masyarakat industry modern berkembang dan desa-desa ditinggalkan oleh para penduduknya untuk hidup di kota. Pada kondisi soial masyarakat sperti itu Martin Heidegger lahir. Martin Heidegger lahir di Messkirsch, Jerman, tepatnya pada tanggal 26 september 1889. Heidegger dilahirkan di sebuah keluarga pendeta dan diharapkan dia kelak akan menjadi seorang pendeta juga. Masyarakat tempat Heidegger lahir adalah masyarakat yang konserpatif, hidup mereka didasarkan pada ekonomi pertanian yang mengutamakan hirarki, pemilik tanah, buruh dan para pemuka agama.
Keluaraga Heidegger tidak cukup kaya untuk mengirimnya ke universitas dan ia membutuhkan beasiswa. Untuk maksud tersebut ia harus belajar agama. Semasa sekolah menengah atas ia bersekolah di Freiburg Jesuit Seminary. Pada tahun 1909 ia mendapat beasiswa dari gereja sehingga dapat melanjutkan ke Freiburg University.

4
 
Meskipun Freibuarg adalah sebuah propinsi yang kecil dan agrari, namun merupakan penghubung ke dunia lain, yaitu modernitas: kota metropolitan, trasnportasi yang maju dan komunikasi (telepon dan lain sebagainya), industrialisasi dan mekaniksasi (system buruh yang baru dan bentuk baru socsial masyarakat).
Heidegger pertama kali mempelajari mengenai teologi. Namun di tahun 191, dia keluar dan sekolah kependetaan dan mengambil studi matematika, dan kemudia filsafat—sejarah dan khususnya epistomologi, metafisika, logika, etika dan yang lainnya. Dengan mengambil studi di bidang filsafat, Heidegger tertari dengan pertanyaan mengenai apa itu “ada”?
Tahun 1916 Husserl tiba di Freiburg sebagai professor filsafat. Kemudian dari tahun1919 sampai 1923 Heidegger menjadi assisten Husserl. Husserl merupakan pendiri dari aliran filsafat penomenologi modern.
Di tahun tersebut juga Heidegger menikahi istrinya yaitu Elfrida Fetri. Pernikahannya dengan Elfrida Fetri sedikit banyak mempengaruhi pemikiran Heidegger. Dimana setelah menikahi istrinya, yaitu sekitar tahun 1918 Heidegger mengalami krisi keimanan. Istrinya adalah seorang pengikut Luther dan sedangkan Heidegger adalah seorang katolik.
Keterlibatan Heidegger dengan partai Nazi Jerman dianggap bahwa tulisan-tulisan Heidegger mendukung kekejaman Hitler. Sampai akhir hayatnya Heidegger tidak pernah jelas keterlebitan Heidegger denga partai Nazi Jerman. (Jeff Collins & Howard Selina; 2001)
2.2.    Latar Belakang Pemikiran
Heidegger mulanya adalah seorang pengikut fenomenologi. Kaum fenomenologi menghampiri filsafat dengan berusaha memahami pengalaman tanpa diperantarai oleh pengetahuan sebelumnya dan asumsi-asumsi teoritis abstrak. Edmund Husserl adalah pendiri dan tokoh utama aliran ini.sementara Heidegger adalah mahasiswa dan sekaligus asistennya. Hal ini lah yang mempengaruhi pemikiran Heidegger.  (Rifqi K. Anam) Heidegger menjadi tertarik mengenai pertanyaan “Ada”. Karyanya yang terkenal Being and Time dicirikan sebagai sebuah karya fenomenologis. Gagasan tentang ada berasal dari Parmenindes dan secara tradisional merupakan salah satu pemikiran utama filsafat Barat. Persoalan tentang keberadaan dihidupkan kembali oleh Heidegger  setelah memudar karena pengaruh tradisi metafisika Plato. Heidegger juga mengkritik Descrates “aku berpikir, maka aku ada”. Menurut Heidegger baigaman seseorang bisa berpikir, apabila dia tidak ada?. Maka, kalimat yang tepat bagi Heidegger adalah “Aku ada, maka aku berpikir”.
Heidegger mengarah pada metakritik atas kritik-kritik Kant, Heidegger menganggapnya sebagai sebuah tugas penyelidikan yang lebih bersifat ontologism dibandingkan logis. Konsep fundamental ontologis Heidegger menyediakan sebiah re-orientasi yang utuh dan sebuah solusi yang jauh lebih radikal dengan mengembangkan sejumlah  Existtentialien (eksistensiale-eksistensiale) yang, dalam hubungannya dengan “kategori-kategori khas ada bagi entitas-entitas yang karakternya bukan Dasein”, “menjadi dua kemungkinan dari karakter-karakter Ada” (Josef Bleicher; hal. 141)
2.3.    Pemikiran Hermenutika
Hakikat eksistensi – menurut Heidegger—melampaui dan berada di atas kesadaran subjektifitas. Karena kesadaran ini bersifat historis dan sekalipun mulai mempersepsikan subjektivisme bagi eksistensi, maka ia merupakan pemahaman yang tidak henti. Terdapat indikasi – dihubungkan dengan hermenutik—bahwa Heidegger menganggap hermenutik sebagai fenomena (hermeneutic of Facticity) dengan segala dimensinya yang asli. Ia menganggap bahwa tugasnya dalam buku Being and Time adalah menjelaskan hermenutik eksistensi. Tetapi Heidegger membatasi filsafat fenomenologinya dan ia kembali pada sumber Yunani untk istilah fenomenologi dan memandangnya disusun oleh dua unsure, phenomenon dan logos. Bagian pertama menunjuk pada “sekumpulan yang nampak karena cahaya siang” atau “objek yang terlihat karena ada cahaya”. Kejelasan atau penampakan bagi objekini tidak mesti berinteraksi dengannya atas dasar bahwa ia menjadi unsure kedua yang menunjukan pada objek yang lain dibelakangnya. Ia bukanlah penampakan dari berbagai indikasi objek, tetapi nampaknya objek sebagaimana adanya. Dengan kata lain, eksistensi objek itu bukanlah unsure kedua—atau manifestasinya dalam persepsi—melainkan objek itu sendiri, tetapi ia merupakan hakikat aslinya. (Nasr Hamid Abu Zayd; hal. 57)
Berangkat dari hal di atas, dalam Ontology— Hermeneutics of Facticity. Heidegger merumuskan proyek penyelidikan fenomenologis yang ia sebut sebagai “hermeneutic of facticity”. Heidegger mengunakan istlah ontology bagi proyeknya. Ontology dalam pemikirian Heidegger  tidak dimaksud untuk mempelajari Ada dalam arti metafisika tradisonal. Heidegger ingin kembali pada Ada yang paling asli ketika Ada belum disalahpahami. Ada Heidegger bertolak dari “ada” partikuler yang menanyakan Ada. Ada partikuler tersebut dinama Dasein. Jadi ontology disini dimaksudkan sebagai kajian yang bertolak dari Dasein.
Daseinyang secara harfiah berarti “ada-di-sana” memiliki makna “a being-in-the-world, capable of being with itself (at-home-in), as well as with others (there involved in), for a period of temporal spatial duration.” (Richard E. Palmer; hal. 128) kehadiran Dasein tidak bersifat statis dan konstan tetapi bersifat dinamis. Dasein memiliki sebuah kehidupan yang disebut Heideger sebagai faktis (factical). Bagi Heidegger, Dasein sebagai “ada” yang faktis berarti ke-di-sana-an Dasein berada dalam temporalitas waktu tertentu. Jadi ontology yang dimaksud Heidegger disini adalah sebuah penyelidikan mengenai kehidupan faktis Dasein sebagai “ada”particular dalam temporalitasnya. Penyelidikan ini ia sebut sebagai hermeneutic faksitas. Dalam hal ini, Heidegger melakukan pengubahan secara mendasar tidak hanya pada disiplin ontology tetapi juga bidang hermeneutic denga mengganti objek penyelidikan yang semula bersifat konstan dan statis dengan sesuatu yang bergerak dalam temporalitas.
Contoh fenomena ini adalah hermeneutic . bidang hermeneutic dengan menguraikan perjalanan sejarah dimana hermeneutic didefinisikan dan didefinisikan ulang sejak masa klasikgga sekarang . artinya hermeneutic bahwa pemahaman tidak didasarkan pada berbagai kategori dan kesadaran kemanusiaan. Tetapi muncul dari manifestasi-manifestasi objek yang kita hadapi yang berupa kebenaran yang kita persepsikan—pahami. Manusia,dalam eksistensinya dan atas dasar jangkauan eksistensinya ini menemukan pemahaman terbatas terhadap hakikat eksistensi yang sempurna.  Pemahaman ini bukanlah pemahaman yang stabil, tetapi pemahaman yang terbentuk secara historis dan berkembang dalam menghadapi berbagai fenomena. Eksistensi manusia menurut pemahaman ini merupakan praktek berkesinambungan dalam memahami berbagai fenomena dan eksistensi tersebut sekaligus.
Dengan demikian fenomenologi menjadi hermeneutic. Dan hermeneutic-- praktek pemahaman –menjadi eksistensi. Pemahaman adalah kemampuan untuk mempersepsikan berbagai kemungkinan eksistensi bagi individu dalam konteks kehidupannya dan eksistensinya di dunia. Pemahaman bukanlah potensi atau bakat untuk merasakan pemahaman pribadi lain, sebagaimana pemahaman bukanlah kemampuan untuk mencerna makna berbagai ekspresi hidup yang dalam. Pemahaman bukanlah sesuatu yang dapat dihasilkan atau dimiliki, namun merupakan salah satu bentuk eksistensi di dunia ini, atau satu elemen yang mendasari dunia ini. Karean inilah--dari segi eksistensi—pemahaman adalah dasar dan yang mendahului segala aktifitas eksistensialis (menjadi atau being). Fenomena alam dan ketersingkapannya hanya terjadi dalam bahasa (pembicaraan).
Secara alami teks tiadaklah dianggap sebagai ekpresi dari “kebenaran internal” sebagaimana syair tidak mengungkapkan sisi-sisi internal kepada kita. Tetapi lebih tepat dianggap sebagai pengalaman eksistensial. Teks merupakan keterlibatan dalam kehidupan “sebagaimana pengalaman ekistensi” yang melampaui subjektivitas dan objektivitas.
Dalam pemahaman dan interprestasi terhadap teks , kita tidak berawal dari kekosongan, tetapi kita mulai—sebagaimana pemahaman eksistensi—dari pengetahuan awal tentang teks dan jenis-jenisnya. Bahkan mereka yang tidak memiliki konsep adanya eksistensi seperti pengetahuan ini atau menyangkalnya, juga mereka mulai dengan gambaran bnahwa teks ini misalnya merupakan lirik. Disisi lain, kita tidak menemukan teks diluar bingkai ruang dan waktu, tetapi kita menemuinya dalam situasi yang terbatas. Kita tidak menemui teks dengan keterbukaan yang statis, tetapi kita menemuinya dengan saling mempertanyakan. Pertanyaan seperti ini merupakan dasar eksistensi dalam memahami teks, kemudian menginterprestasikannya secara sempurna sebagaimana persepsi kita terhadap eksistensi yang sempurna dengan eksistensi subjektif kita, maka eksistensi subjektif itu juga yang menjadi dasar pemahaman kita terhadap ekistensi alam semesta.
1.1.       Kesimpulan
Heidegger ingin mengungkapkan bahwa ada bentuk pemahaman yang lebih primordial dari pemahaman intelektual, yaitu sebuah pemahaman yang dibentuk oleh situasi dan kondisi yang melatarbelakanginya. Pengalaman tersebut lebih bersifat praktis ketimbang epistomoligis bentuk pemahamn ini dapat digunakan dalam penyelidikan kehidupan sehari-hari. Relasi manusia dengan dunia pertama-tama bukanlah relasi pemahaman intelektual. Dalam duania keseharian, memahami palu bukanlah mengetahui apa eseensi dari palu (know what) tetapi tahu bagaimana menggunakan pal (know how. Sebuah meja keluarga berada disebuah ruangan tidak benar-benar diperhatikan oleh keluarga yang memilikinya selain sebagai tempat untuk meletakan sesuatu. Baru setelah palu mengenai tangan kita, saat kita gunakan , kita benar-banar sadar akan kehadiran palu. Juga baru setelah sebuah meja tidak bisa digunakan entah karena rusak atau kotor, si pemilik memperhatikan meja tersebut. Hal tersebut menunjukan adanya sebuah pra-struktur (fore-structure) dalam diri manusia yang berasal dari situasi eksistensial patikular yang membentuk pemahaman manusia dan menjadi kerangka dan parameter dalam setiap penafsir.

Heidegger tidak memaksudkan bahwa dengan adanya pra-pemahaman yang menentukan setiap penafsiran kita, maka kita akan terkurung oleh prasangka kita sendiri. Hermeneutika Heidegger justru menunjukan sebaliknya. Tujuannya adalah untuk memberikan penjelasan atau mengekplisitkan adanya struktur pra-pemahaman yang terberi dalam sejarah. Heidegger denga kata lain ingin menyingkapkan apa yang implicit dalam setiap penafsiran kita. Usaha inilah yang disebut sebagai hermeneutika.

1.2.       Kritik dan Saran
Heidegger menempatkan hermeneutika sebagai destruksi metafisika tradisional yang melupakan Ada yang menyembunyikan diri. Dan dengan demikian proyek fenomenologi Heidegger, yang ia beri nama hermeneutika faktisitas menjadi sebuah ontology karena memberikan Ada mewahyukan dirinya dalam dimensi tampak dan tak tampaknya. Tapi hal ini membuat hermeneutika Heideger tidak memiliki struktur metedologi yang jelas dan tersusun dengan rapi. Sehingga hermeneutikanya sulit digunakan dalam penulisan tafsir. 
DAFTAR PUSTAKA


Bleicher, Josef. Hermeneutikan Kontemporer. Yogyakarta: Pajar Pustaka Baru, 2013.
Farid Esack. Membebaskan yang Tertindas. Bandung: Mizan Meedia Utama, 2000
Hamid Abu Zayd, Nasr. Al-Quran, Hermeneutik dan Kekuasaan. Bandung: RQiS, 2003
Jeff Collins & Howard Selina. IIntroduction Heidegger. Canada: Pengeuin Books, 2001
Richard E. Palmer. Hermeneutic. Evanstone: Northwestern University Press, 1969.